Oleh: Abu Athif, Lc. -غفر الله له ولوالديه-
Kemerdakaan adalah salah satu nikmat dan anugerah yang diberikan oleh Allah ﷻ kepada para hamba-Nya. Tidaklah seorang anak bani Adam terlahir di dunia ini melainkan dia berstatus merdeka.
Kemerdekaan dicapai dan diraih dengan upaya keras untuk membebaskan diri dari belenggu yang menjeratnya. Kemerdekaan bukan sekedar ekspresi kegembiraan. Tidak pula diartikan sebagai kebebasan tanpa batas. Namun hakikat kemerdekaan adalah hidup secara bermartabat dan nihilnya kesewenang-wenangan.
Namun sering kali nikmat dan anugerah itu terampas oleh kedzoliman dan tindakan kesewenang-wenangan manusia yang melanggar syariat Allah dan keluar dari ketaatan kepada-Nya. Tidakkah kita ambil pelajaran bagaimana kedzoliman Fir’aun, Haman dan Qarun?! Dari tiga tipe manusia inilah kemerdakaan manusia terampas dan terhempas.
Di sisi lain kemerdekaan manusia secara individual bisa hilang karena hidupnya terbelenggu oleh hawa nafsunya sendiri. Tidakkah kita perhatikan bagaimana Bal’am bin Bauro yang semula menjadi panutan manusia di zamannya dalam kebaikan dan dikenal sebagai orang yang mustajab doanya namun berakhir dalam kondisi murtad dengan menjadi pengkhianat di tengah kaum Nabi Musa. Sebabnya adalah memperturutkan hawa nafsunya. Hanya karena iming-iming harta, tahta dan wanita dari Kerajaan musuh, dirinya menyetujuinya dan akhirnya mengkhianati Nabi Musa dan menentang dakwahnya.
Islam sebagai agama “rahmatan lil ‘alamin” mengajarkan konsep hidup merdeka secara komprehensif. Hal itu terlihat dalam setiap syari’at yang dituntunkan terdapat spirit kemerdekaan yang tidak menggantungkan hidup kepada makhluq namun hanya kepada Sang Kholiq.
Intisari dari spirit kemerdekaan yang diusung oleh Islam terangkum dalam perkataan salah seorang sahabat yang mulia bernama Rib’I bin ‘Amir. Saat beliau ditanya oleh Rustum dalam kancah perang Qadisiyah tentang motivasi yang menggerakkan mereka hadir ke negeri Persia. Beliaupun menjawab:
“الله ابتعثنا لنخرج من شاء من عبادة العباد إلى عبادة الله، ومن ضيق الدنيا إلى سعتها، ومن جور الأديان إلى عدل الإسلام، فأرسلنا بدينه إلى خلقه لندعوهم إليه”.
Artinya: “Allah mengutus kami untuk mengeluarkan manusia dari penghambaan kepada manusia menuju kepada penghambaan hanya kepada Allah, dan (mengeluarkan manusia) dari sempitnya dunia menuju keluasan akhirat, dan (mengeluarkan manusia) dari kedzoliman agama-agama menuju kepada keadilan Islam, lalu Allah mengutus kami dengan agama-Nya (Islam) ini kepada seluruh makhluq agar kami mengajak mereka kepadanya”. [Al Bidayah wa al Nihayah, Juz 7 hal 39].
Dari penjelasan singkat tersebut bisa kita ambil Kesimpulan bahwa setiap hamba akan mendapatkan dan merasakan kemerdekaannya saat dirinya berhasil melepaskan diri dari tiga belenggu.
Belenggu pertama adalah syirik dan kufur. Syirik dan kufur adalah manifesto dari penghambaan kepada selain Allah. Ketika seorang hamba salah dalam memberikan bentuk penghambaan maka hakikatnya dirinya terjerembab dalam perbudakan yang berujung pada penindasan dan kedzoliman. Bisa kita lihat contoh di sekitar kita seperti orang yang menggantungkan hidupnya kepada jimat-jimat atau praktek-prektek perdukunan/ sihir, pasti ujungnya adalah penyesalan. Hidupnya akan diperas oleh pelaku kesyirikan. Alih-alih mendapatkan keberkahan yang terjadi justru kebuntungan dan kerugian. Inilah esensi dari penghambaan manusia kepada makhluq, yang sering terjadi adalah pihak kuat menindas pihak lemah.
Bentuk penghambaan kepada makhluq memiliki banyak macamnya. Namun semuanya bermuara pada salah satu dari dua hal; penindasan oleh pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah seperti penjajahan fisik yang dilakukan kaum imperialis barat terhadap wilayah kaum muslimin. Bisa juga dalam bentuk ketergantungan manusia kepada makhluq seperti memuja benda-benda keramat atau menganggap bahwa seorang raja menjadi satu-satunya sandaran hidup.
Islam hadir untuk membebaskan belenggu syirik dengan konsep tauhid. Bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali hanya Allah ﷻ. Tidak ada yang bisa dijadikan sandaran hidup kecuali hanya Allah ﷻ semata. Ketika seorang hamba bertauhid maka sejatinya telah mendapatkan kemerdekaan yang sebenarnya. Karena tidak ada dalam dirinya ketakutan dan kekhawatiran. Karena takut dan khawtir adalah kondisi jiwa yang terjajah dan terbelenggu. Allah menjanjikan ketenangan dan keamanan bagi yang menyatakan tauhid melalui firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. [QS. Al Baqarah: ayat 277]
Belenggu kedua adalah cinta dunia. Cinta dunia sering membutakan hati manusia. Tidaklah seseorang terkena penyakit cinta dunia melainkan pasti dirinya akan diperbudak olehnya. Ambisi dan obsesi terbesarnya adalah keserakahan untuk menguasai dunia. Seperti yang digambarkan dalam hadits Nabi ﷺ:
لَوْ كانَ لاِبْنِ آدَمَ وادِيانِ مِن مالٍ لابْتَغَى وادِيًا ثالِثًا، ولا يَمْلأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إلَّا التُّرابُ، ويَتُوبُ اللَّهُ علَى مَن تابَ. (رواه البخاري ومسلم)
Artinya: “Kalaulah anak Adam memiliki harta sebanyak dua Lembah pastilah dia akan mencari Lembah yang ketiga, dan tidak ada yang bisa memenuhi hasrat kepuasan rongga anak Adam kecuali tanah (kematian). Dan Allah memberikan taubat kepada orang yang mau bertaubat”. [HR. Bukhari dan Muslim]
Demi melepaskan diri dari belenggu dunia maka Islam hadir dengan konsep zuhud. Seorang hamba disadarkan bahwa sifat dunia adalah fana sementara akhirat adalah kekal selamanya. Apa pun yang didapatkan dunia pastilah berujung pada tiga hal; apa yang dimakan akan habis, apa yang dipakai akan usang-lapuk dan apa yang diberikan akan hilang tidak berbekas. Sementara kebaikan dan kenikmatan akhirat adalah kekal. Betapa merdekanya jiwa seorang hamba ketika menerapkan sikap zuhud dalam hidupnya. Imam Ibnu Taimyah pernah berkata :
” ما يصنع أعدائي بي؟ أنا جنتي وبستاني في صدري إن رحت فهي معي لا تفارقني إن حبسي خلوة وقتلي شهادة وإخراجي من بلدي سياحة”
Artinya: “Apa yang bisa dilakukan oleh musuh-musuhku terhadap diriku ?! sesungguhnya aku adalah surga dan tamanku ada di dadaku, jika aku pergi maka dia bersamaku, tidak berpisah dariku, jika aku tertawan maka itu adalah situasi menyendiri (dengan Robbku), terbunuhnya diriku adalah kematian syahid (yang dirindukan), dan ketika aku diusir dari negeriku maka itulah wisata bagiku”. [Al Wabil al Shayyib, hal 48].
Demikianlah ungkapan jiwa merdeka yang tidak terbelenggu dengan dunia. karena hakikatnya dunialah yang merengek-rengek untuk dimiliki oleh seorang hamba yang zuhud. Sebagaimana yang disebutkan oleh baginda Nabi dalam haditsnya:
مَنْ كَانَ هَمُّهُ الْآخِرَةَ، جَمَعَ اللهُ شَمْلَهُ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ، وَمَنْ كَانَتْ نِيَّتُهُ الدُّنْيَا، فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ ضَيْعَتَهُ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ ( رواه ابن ماجه )
Artinya: “Barangsiapa yang ambisinya adalah akhirat, niscaya Allah mengumpulkan (dan memudahkan) urusannya, menjadikan kekayaan ada di hatinya dan dunia datang kepadanya dalam kondisi hina. Sementara barang siapa yang niatnya dunia, niscaya Allah mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di antara kedua matanya dan tidaklah datang kepadanya dunia kecuali dengan apa yang telah ditakdirkan untuknya”. [HR. Ibnu Majah]
Adapun belenggu yang ketiga adalah kedzoliman ajaran dan ideologi sesat. Tidak dipungkiri bahwa ajaran sesat sering menghantarkan manusia kepada kebinasaan. Tercatat dalam sejarah bahwa musnah dan hancurnya peradaban manusia diawali dari tersebarnya ajaran-ajaran sesat. Kemusnahan kaum ‘Ad, kaum Tsamud, kaum Nabi Luth dan lainnya berawal dari ajaran agama sesat. Karena kesesatan selalu berdampingan dengan kedzoliman.
Islam hadir dalam rangka tegaknya keadilan bagi seluruh manusia. Keadilan tidak akan pernah tegak kecuali dengan ajaran yang didasarkan pada petunjuk dari Allah ﷻ. Allah menegaskan tentang hal ini dalam sebuah firman-Nya:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Artinya: “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” [QS. Al Maidah: ayat 50]
Islam secara tegas menyatakan bahwa tegaknya keadilan lebih dicintai oleh Allah dari pada bertambah besarnya jumlah manusia yang masuk Islam. Seperti yang tersurat dan tersirat dalam firman Allah :
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat”. [QS. An Nisa: ayat 105]
Ayat ini turun berkaitan dengan kasus pencurian yang dilakukan oleh oknum dari kalangan Bani Ubairiq. kemudian dituduhkan kepada orang lain. Saudara dari sang pelaku memberikan pembelaan dan berharap bahwa Nabi memberikan dukungan pembelaan kepadanya. Hingga turunlah ayat ini sebagai peringatan bahwa keadilan harus tetap ditegakkan meskipun kepada orang yang terpandang di tengah kaumnya. [al Jami’ li Ahkam Al Quran, juz 5 hal 327].
Dalam kasus lain ada seorang Wanita dari Bani Makhzum mencuri. Kemudian Sebagian dari sahabat mencoba untuk memberikan syafa’at dalam masalah hukuman. Lalu Nabi Muhammad ﷺ sendiri menegaskan bahwa hukum dan keadilan harus ditegakkan meskipun kepada keluarganya sendiri, beliau pun bersabda:
إنَّما أهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ، أنَّهُمْ كَانُوا إذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وإذَا سَرَقَ فِيهِمُ الضَّعِيفُ أقَامُوا عليه الحَدَّ، وايْمُ اللَّهِ لو أنَّ فَاطِمَةَ بنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا. (رواه البخاري)
Artinya: “Sesungguhnya hancurnya orang-orang sebelum kalian adalah ketika orang mulia di Tengah mereka mencuri dibiarkan, namun jika yang mencuri adalah kaum lemah dari mereka ditegakkanlah hukuman kepadanya. Demi Allah, jikalau Fathimah binti Muhammad mencuri pastilah aku potong tangannya”. [HR. Bukhori]
Kemerdekaan bisa terwujud manakala keadilan ditegakkan. Prinsip keadilan senantiasa berbanding lurus dengan kebenaran. Tidak ada kebenaran yang absolut selain dari apa yang telah diwahyukan Allah ﷻ kepada Nabi Muhammad ﷺ. Hanya Islam sebagai satu-satunya agama yang mengajarkan system keadilan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran.
Semoga Allah menganugerahkan kepada kita kemerdekaan haqiqi dan kekuatan untuk tetap terus berjuang melepaskan dari tiga belenggu; syirik, cinta dunia dan kedzoliman ajaran atau ideologi sesat. Aamiin. Wallohu a’lam.
No Comments